Hukum-hukum
Islam adalah ajaran yang dibangun atas argumentasi dan landasan yang jelas dan
kokoh. Terbentuknya hukum Islam tidaklah semata-semata hasil olah dari akal
manusia, namun di dalamnya terbangun sinergitas antara kehendak Allah SWT. dan
pengetahuan akal manusia. Di mana kedua hal tersebut merupakan bagian dari
hidayah atau petunjuk dari Allah SWT. yang berikan kepada manusia sebagai bekal
dalam menjalani kehidupannya di dunia.[1]
Sebagai ajaran
yang memiliki landasan dan dasar yang kuat, para ulama sepakat bahwa dasar
pokok dari ajaran Islam adalah al-Qur’an. Di mana istilah dasar ini, kemudian
lebih dikenal dengan istilah dalil. Dan dalil yang menjadi dasar hukum Islam
disebut dengan dalil syar’i.
Secara Bahasa,
dalil syar’i (الدليل الشرعي) terdiri dari dua kata yaitu dalil (دليل) dan syar’iy (شرعي). Secara
etimologis, dalil berasal dari bahasa Arab yang bermakna petunjuk atas sesuatu
yang hendak dituju (al-mursyid ila al-mathlub). Sedang kata syar’i artinya
sesuatu yang bersifat ke-syariahan, untuk membedakannya dengan dalil-dalil lain
yang tidak dikatagorikan syar’i seperti dalil logika, dalil matematika, dalil
sains, dan dalil-dalil lainnya.
ما يُستدل بالنَّظر الصَّحيح فيه على حكمٍ شرعيٍّ عمليٍّ على سبيل
القطعِ أو الظَّنِّ.
“Setiap
sesuatu yang dijadikan petunjuk dengan pengamatan yang benar atas hukum syariah
yang bersifat amali/praktis, baik dengan jalan yang qath'i atau zhanni.”
Apakah Dalil Syar’i Hanya al-Qur’an dan As-Sunnah?
Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah apakah di dalam ajaran Islam khususnya dalam aspek hukum
praktis (fiqih), yang dikatagorikan sebagai dalil hanyalah al-Qur’an dan Sunnah
semata?
Sebenarnya
pertanyaan ini muncul disebabkan munculnya pemahaman yang “keliru” terkait
dengan istilah “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”. Sebab pembatasan dalil
syar’i hanya kepada dalil al-Qur’an dan Sunnah adalah pembatasan yang
bertentangan dengan kesepakatan para ulama, sebagaimana yang termaktub dalam
kitab-kitab Ushul Fiqih. Imam Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H) berkata: [3]
وكان الأئمة أجمعوا على أن الأدلة لا تنحصر فيها، وأنه ثم دليل
شرعي غيرها...
“Dan para imam
mazhab sepakat bahwa dalil-dalil syariat tidak terbatas pada keempat dalil
tersebut (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas), di mana terdapat dalil
syariat lainnya…”
Sebagaimana
pembatasan dalil hanya pada al-Qur’an semata, pernah muncul pada masa Imam
asy-Syafi’i. Di mana pada masa beliau, muncul sekelompok orang yang menamakan
dirinya dengan al-Qur’aniyyun, yang bermakna orang-orang yang
menisbatkan diri kepada al-Qur’an. Kelompok ini muncul tak terlepas beragam
motivasi yang melatar belakanginya dengan membawa jargon “Dasar
hukum Islam hanya al-Qur’an” dalam rangka menolak Sunnah sebagai dasar hukum.
Pemikiran yang
sama, pernah muncul pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib ra, yang dikemudian
disebut dengan sekte Khawarij. Di mana mereka menolak ijtihad para
shahabat dalam permasalahan yang memang terbuka peluang adanya ijtihad, sembari
menyorakkan jargon “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah swt.” Mendengar ini,
lantas Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Kalimat haq yang dimaksudkan
untuk kebatilan.”
Di sinilah
permasalahannya, di mana jargon untuk “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”
sebagaia seruan yang ideal, kemudian dapat menimbulkan pemahaman dan persepsi
yang keliru serta menyesatkan, jika dimaksudkan untuk menolak sumber atau dalil
hukum Islam yang lainnya. Termasuk dalam hal ini, produk ijtihad para ulama
terkait manhaj dalam berijtihad (metode istinbath hukum) maupun terkait produk
fiqih.
Padahal,
sebagaimana telah dikemukakan di atas, para ulama telah sepakat bahwa dalil
atau sumber hukum dalam Islam tidaklah semata al-Qur’an dan Sunnah. Namun,
syariat juga melegitimasi dalil lain yang dapat dijadikan sandaran dalam
menetapkan hukum Islam, seperti ijma’ dan qiyas.
Al-Qur’an Sebagai Pondasi Setiap Dalil
Pada dasarnya,
dalil hukum Islam yang pokok dan hakiki hanyalah al-Qur’an. Karena secara
hakikat yang berhak untuk menetapkan hukum atas manusia hanyalah Allah swt,
yang kemudian titahnya ini secara langsung termaktub dalam al-Qur’an.
Penyusun al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah menulis: [4]
الْقُرْآنُ هُوَ الأْصْل الأْوَّل مِنْ أُصُول الشَّرْعِ، وَهُوَ
حُجَّةٌ مِنْ كُل وَجْهٍ لِتَوَقُّفِ حُجِّيَّةِ غَيْرِهِ مِنَ الأْصُول عَلَيْهِ
لِثُبُوتِهَا بِهِ، فَإِنَّ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخْبِرُ
عَنِ اللَّهِ تَعَالَى، وَقَوْل الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّمَا صَارَ حُجَّةً بِالْكِتَابِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَا أَتَاكُمُ
الرَّسُول فَخُذُوهُ} (الحشر: 7)، وَكَذَا الإْجْمَاعُ وَالْقِيَاسُ.
“Al-Qur’an
adalah dasar pertama dari dasar-dasar syariat lainnya. Dan ia merupakan hujjah
(wajib diamalkan) dari berbagai sisi, sebab dasar-dasar lainnya bersifat legal
oleh sebab legitimasi al-Qur’an. Oleh Karena Rasulullah saw menyampaikan apa
yang diterimanya dari Allah swt, dan sebab itulah perkataan Rasulullah saw
(Sunnah) menjadi hujjah pula atas dasar legitimasi al-Kitab (al-Qur’an).
Berdasarkan firman-Nya, “Apapun yang dibawa oleh Rasul maka ambillah.” (QS.
Al-Hasyr: 7). Demikian pula (legitimasi al-Qur’an) terhadap Ijma’ dan Qiyas.”
Namun yang patut
dipahami, meskipun al-Qur’an merupakan satu-satunya dalil pokok, namun
al-Qur’an juga telah melegitimasi banyak dalil sebagai sumber hukum Islam.
Sebagaimana para ulama sepakat bahwa Allah SWT adalah satu-satunya yang berhak
menetapkan hukum atas manusia, namun Allah swt juga telah memberikan legitimasi
kepada manusia untuk menetapkan hukum.
Secara praktis,
entitas Allah swt sebagai penetap hukum yang haqiqi kemudian terwujud dalam
firman-Nya yaitu al-Qur’an. Sedangkan legitimasi Allah diberikan kepada dua
pihak. Pertama, kepada Rasulullah saw yang terwujud dalam
Sunnah-sunnahnya. Dan kedua, para ulama yang terwujud dalam ijtihad
mereka.
Adapun landasan
ketentuan di atas adalah hadits berikut, yang menceritakan dialog antara
Rasulullah saw dengan Muadz bin Jabal ra, saat Rasulullah mengutusnya ke Yaman
untuk menjadi qadli/hakim.
كيْف تقْضيِ إِذا عُرِض لك قضاء؟ قال: أقْضِي بكِتابِ اللهِ. قال: فإِنْ لمْ تجِدْ فيِ كتِابِ
اللهِ؟ قال: فبِسُنّةِ رسُولِ اللهِ. قال: فإِنْ لمْ تجِدْ فيِ سُنّةِ رسُولِ الله
ولا فيِ كتِابِ الله؟ قال: أجْتهِدُ رأْيِ ولا آلو. فضرب رسُولُ اللهِ صدْرهُ
وقال: الحمْدُ لِلّه الّذِي وفق رسُولُ رسُولِ اللهِ لِما يرْضي رسُوْلُ اللهِ.
Dari Muaz bin
Jabal ra berkata: bahwa Nabi bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau
memutuskan perkara jika diajukan kepadamu?”
Muadz menjawab,
“Saya akan putuskan dengan kitab Allah.”
Nabi bertanya
kembali, “Bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah?”.
Muadz
menjawab, “Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah.”
Rasulullah
bertanya kembali, “Jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak
pula dalam Kitab Allah?”
Muazd menjawab,
”Saya akan berijtihad dengan akal saya dan saya tidak akan lalai.”
Lalu Rasulullah
saw menepuk dadanya seraya bersabda, ”Segala puji bagi Allah yang telah
menganugrahkan taufiq-Nya kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridhai
Rasulullah. (HR. Abu Daud).[5]
Dan juga firman
Allah swt berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ
الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيل
“Hai orang-orang
yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul, dan ulil amri di antara
kamu (ulama). Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih
baik akibatnya.” (QS. An-Nisa : 59).
Klasifikasi Dalil-dalil Syar’i
Lalu apa saja
dalil atau sumber hukum dalam Islam?.
Dalam hal ini,
dalil dapat diklasifikasikan sebagaimana yang dijelaskan dalam definisinya di
atas; apakah berdasarkan jenisnya yang disimpulkan dari kata “setiap sesuatu”,
atau berdasarkan kualitasnya yang disimpulkan dari kata “jalan yang qath’i
atau zhanni”.
a. Klasifikasi
Dalil Berdasarkan Kualitasnya
Maksud dari
kualitas dalil adalah sifat dalil dari aspek qath’i dan zhanni-nya
dalil. Dalam Ushul Fiqih, istilah qath’i-zhanni digunakan
untuk menyatakan tingkat kekuatan suatu dalil. Kata qath’i adalah
sinonim dari kata-kata dharuri, yakin, pasti, absolut,
dan mutlak. Sedangkan kata zhanni adalah sinonim dari kata-kata hadari,
dugaan, relatif, dan nisbi.[6]
Secara
terminologis, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan dalil qath’i sebagaimana
berikut:
“Dalil yang
menunjukkan kepada suatu makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat
al-Qur’an atau hadits), dan tidak mengandung kemungkinan ta’wil atau pengalihan
dari makna asal kepada makna lain, serta tidak ada peluang untuk memahami makna
selain makna yang ditunjukkan oleh teks.”
Contoh dari
dalil yang dipahami secara qath’i, seperti firman Allah swt yang menjelaskan
bahwa ‘iddah wanita yang ditinggal wafat suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Maka
makna angka 4 bulan 10 hari, hanya bisa dipahami secara qath’i dengan angka
tersebut. Sebagaimana firman-Nya:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (234)
“Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari (4
bulan 10 hari). Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. al Baqarah: 234).
Sedangkan
definisi dari dalil zhanni sebagaimana berikut:
“Dalil yang
menunjukkan makna tertentu yang harus dipahami dari teks al-Qur’an dan hadits
yang mengandung kemungkinan ta’wil atau pengalihan dari makna asal kepada makna
lain, serta masih adanya peluang untuk memahami makna lain selain makna yang
ditunjukkan oleh teks.”
Contoh dari
dalil yang dipahami secara zhanni, seperti firman Allah yang menjelaskan
tentang najisnya orang-orang musyrik, apakah najis yang dimaksud adalah
najisnya badan mereka secara hakiki, atau najisnya akidah yang mereka yakini.
Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ
عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ (التوبة: 28)
“Hai orang-orang
yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah
mereka mendekati Masjid al Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir
menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari
karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (QS. at Taubah: 28).
b. Klasifikasi
Dalil Berdasarkan Sifatnya
Adapun dari
aspek sifatnya, setidaknya dalil dapat dibedakan menjadi dua: dalil naqli dan
dalil ’aqli. Di mana dari setiap dalil dengan dua sifat tersebut, ada yang
disepakati legalitasnya (muttafaq ’alaihi) dan adapula yang
diperselisihkan (mukhtalaf fihi).
Maksud dari
dalil naqli (دليل نقلي) adalah dalil-dalil yang diterima melalui proses periwayatan
seperti al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Syara’ man qablana, dan ’Urf.
Sedangkan yang
dimaksud dengan dalil ’aqli (دليل عقلي) adalah dalil-dalil yang digunakan untuk mengistinbath hukum yang
dasarnya adalah akal seperti Qiyas, Istihsan, Istishlah, dan Sadd Zari’ah.
Adapun yang
dimaksud dengan dalil-dalil yang disepakati adalah bahwa semua ulama dari
berbagai mazhab atau mayoritas di antara mereka sepakat untuk menggunakan dalil
tersebut sebagai sumber dalam melakukan penggalian hukum. Dalil-dalil syara’
yang telah disepakati itu ada empat, yaitu: (1)
al-Quran, (2) Sunnah, (3) Ijma', dan (3) Qiyas.
Sedangkan yang
dimaksud dengan dalil-dalil yang tidak disepakati adalah dalil-dalil syara’
selain al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Disebut mukhtalaf (diperselisihkan)
karena tidak semua mujtahid menjadikan dalil-dalil ini sebagai rujukan dalam
berijtihad.
Namun patut
dicatat disini, bahwa sekalipun para ulama berbeda pendapat terkait legitimasi
dalil-dalil yang diperselisihkan tersebut, namun dalam aplikasinya, mereka
kadangkala menggunakannya dengan kadar yang berbeda atau bersepakat dalam suatu
hukum, namun berbeda dalam penisbatan dalil atas masalah tersebut. Itu sebabnya
sebagian ulama menyebut dalil yang diperselisihkan tersebut juga dengan istilah
dalil sekunder (adillah tab’iyyah).[9]
Di samping itu,
adapula yang menyebutnya dengan istilah istidlal. Sebagaimana
dijelaskan oleh az-Zarkasyi dalam syarahnya atas kitab Jam’u al-Jawami’ karya
Tajuddin as-Subki (w. 771 H): [10]
الكتاب الخامس: في الاستدلال: وهو دليل ليس بنص ولا إجماع ولا قياس
...(ش): لما انتهى الكلام في الكتاب والسنة والإجماع والقياس، وكان الأئمة أجمعوا
على أن الأدلة لا تنحصر فيها، وأنه ثم دليل شرعي غيرها، واختلفوا في تشخيصه من
استصحاب واستحسان، وغيرها، عقد هذا الكتاب لذلك.
“Kitab yang
kelima: Istidlal. Yaitu setiap dalil selain nash (al-Qur’an dan
Sunnah), Ijma’, dan qiyas…(penjelasan az-Zarkasyi): “Setelah as-Subki selesai
menjelaskan masalah terkait al-Kitab (al-Qur’an), Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, dan
para imam mazhab sepakat bahwa dalil-dalil syariat tidak terbatas pada keempat
dalil tersebut, di mana terdapat dalil syariat lainnya. Hanya saja mereka
berbeda dalam penyebutan (tasykhish) dalil tersebut, ada yang menyebutnya
Istishhab, Istihsan, dan lainnya. Baru kemudian as-Subki memulai pembahasan ini
(istidlal).”
Demikian pula
dijelaskan secara gamblang oleh Saifuddin al-Amidi (w. 631 H), melalui
definisinya atas istilah Istidlal:[11]
عِبَارَةٌ عَنْ دَلِيلٍ لَا يَكُونُ نَصًّا وَلَا إِجْمَاعًا وَلَا
قِيَاسًا.
“(Istidlal)
adalah ungkapan untuk menunjuk setiap dalil selain nash (al-Qur’an dan Sunnah),
Ijma’, dan Qiyas.”
Pendapat inilah
yang masyhur di tengah ulama, bahwa makna istidlal secara khusus (ma’na
‘urfi) adalah setiap dalil selain ke-empat dalil yang disepakati.
Sebagaimana istilah ini dipopulerkan pertama kali oleh imam al-Juwaini, dan
diperjelas oleh ulama setelahnya seperti al-Ghazali (w. 505 H) dan al-Amidi.[12]
Hanya saja,
terkait berapa jumlah pasti dalil-dalil yang diperselisihkan ini, para ulama
tidak satu suara. As’ad al-Kafrawi dalam disertasinya, al-Istidlal
‘inda al-Ushuliyyin, menyimpulkan setidaknya terdapat 8 istidlal yang
masyhur di kalangan ulama, atau dapat pula disebut 8 dalil lain di luar dalil
al-Qur’an, Sunnah, Qiyas, dan Ijma’. Ke-delapan dalil tersebut adalah: (1)
al-Adillah al-‘Aqliyyah, (2) ’Urf, (3)
Mazhab Shahabi, (4) Syara’ man qablana, (5) Istihsan, (6) Istishlah, (7) Sadd
Zhari’ah, dan (8) Istishhab.
Kesimpulan
Dari penjelasan
di atas, dapat disimpulkan bahwa dalil atau sumber hukum dalam Islam tidaklah
semata al-Qur’an dan Sunnah, namun termasuk juga setiap dalil yang dilegitimasi
oleh al-Qur’an dan Sunnah.
Berdasarkan ini
pula, jika seorang ulama mujtahid menetapkan suatu hukum yang tidak kita
temukan landasannya dari al-Qur’an dan Sunnah, tidak serta merta pendapatnya
tersebut ditolak. Apalagi dianggap tidak perlu diamalkan, dengan anggapan
mereka adalah manusia yang bisa benar dan salah. Sebab bisa jadi, mereka
memiliki argumentasi atau dalil lain yang telah dilegitimasi oleh al-Qur’an dan
Sunnah itu sendiri.
Itu sebabnya,
pendapat mujtahid bagi umat (awam), pada dasarnya merupakan dalil yang juga
dilegitimasi oleh syariat. Imam Abu Ishaq asy-Syathibi (w. 790 H) berkata:
فإنه إذا كان فقد المفتي يسقط التكليف فذلك مساو لعدم الدليل؛ إذ
لا تكليف إلا بدليل، فإذا لم يوجد دليل على العمل سقط التكليف به؛ فكذلك إذا لم
يوجد مفت في العمل؛ فهو غير مكلف به، فثبت أن قول المجتهد دليل العامي، والله أعلم
“Jika tiada mufti disebuah tempat maka tiada pula taklif/beban
syariat, sebab hal tersebut seperti ketiadaan dalil. Di mana tiada taklif tanpa
dalil, dan jika tiada dalil maka tiada amal. Demikian pula jika tiada mufti,
maka orang awam tidaklah ditaklif untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan
hal ini, maka disimpulkan bahwa pendapat mujtahid adalah dalil bagi orang awam.
Wallahua’lam.”[13]
Referensi:
[1] Imam Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar,
menjelaskan bahwa Allah swt telah membekali manusia 4 jenis hidayah: fitrah,
panca indera, akal, dan syariat. (Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir
al-Manar, hlm. 1/52-53).
[2] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, hlm.
20, Abdullah al-‘Anzi, Taisir ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hlm. 12.
[3] Badruddin az-Zarkasyi, Tasynif al-Masaami’ bi
Jam’i al-Jawami’ li Taj ad-Din as-Subki, (Mekkah: Maktbah Qurthubah,
1418/1998), cet. 1, hlm. 3/408.
[5] Hadits ini ditolak oleh kalangan yang menolak qiyas karena
statusnya yang dhaif. Sebab dalam hadits ini terdapat rawi yang majhul atau
tidak diketahui kondisinya yaitu al-Harist bin ‘Amr ats-Tsaqafi dan sejumlah
penduduk Homs dari shahabat-shahabat Mu’azd bin Jabal. Namun Ibnu Qudamah
membatahnya dengan menyebutkan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh perawi
yang tsiqah dari jalur lain yaitu dari Ubadah bin Nusaiy dari Abdurrahman bin
Ghanam. Di samping itu, substansi hadits ini juga telah diterima olah seluruh
umat (talaqqathu al-ummah bi al-qabul), sebagaimana diutarakan oleh Ibnu
Qudamah, al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqih wa al-Mutafaqqih,
al-Juwaini dalam al-Burhan, dan al-Ghazali dalam al-Mustashfa.
(Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Raudhah an-Nazhir wa Junnah
al-Munazhir, hlm. 2/170-171).
[6] Rokhmadi, Rekonstruksi Konsep Qath’iy dan Zhanniy
Menurut al-Syatibi, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2009), hlm. 10. Muhammad
Dakuri menulis sebuah penelitian tentang kualitas dalil yang cukup
komprehensif, dalam disertasinya di Islamic University of Madinah Kerajaan
Saudi Arabi dengan judul al-Qath’iyyah min al-Adillah al-Arba’ah,
dan dicetak pertama kali secara resmi pada tahun 1420 H.
[9] Lihat: Abdul Qadir Ibnu Badran, al-Madkhal ila
Mazhab al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Bairut: Mu’assasah ar-Risalah, 1401), cet.
2, hlm. 162, Manna’ al-Qatthan, Tarikh at-Tasyri’ al-Islamy, (t.t:
Maktabah Wahbah, 1422/2001), cet. 5, hlm. 397.
[10] Badruddin az-Zarkasyi, Tasynif al-Masaami’ bi
Jam’i al-Jawami’ li Taj ad-Din as-Subki, (Mekkah: Maktbah Qurthubah,
1418/1998), cet. 1, hlm. 3/408.
[11] Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,
(Bairut: al-Maktab al-Islamy, t.th), hlm. 4/118.
[12] As’ad al-Kafrawi, al-Istidlal ‘inda al-Ushuliyyiin,
(Kairo; Dar as-Salam, 1423/2002), cet. 1, hlm. 52, 75, 128.
[13] Abu Ishaq asy-Syathibi, al-Muwafaqat, hlm.
5/337. Lihat juga Sa’duddin at-Taftazani, at-Talwih ‘ala at-Tawdhih,
hlm. 1/36, dan Qadhi Iyadh, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik,
(Maghrib: Mathba’ah Fudhalah, t.th), hlm.1/63.
Tags: Madzhab
0 Response to "Apakah Dalil Syariat Hanya al-Qur'an dan As-Sunnah Saja?"
Posting Komentar
Silakan berkomentar sesuai dengan topik. Jangan menyisipkan link pada komentar dan jangan sampai komentar Anda masuk komentar SPAM..
Jangan salahkan Saya bila komentar Anda dihapus !
@ Terima Kasih @